RESENSI BUKU : SHERLOCK HOLMES, A STUDY IN SCARLET
PETUALANGAN PERTAMA SHERLOCK HOLMES
“PENELUSURAN BENANG MERAH”
IDENTITAS BUKU :
Judul Asli : Sherlock Holmes, A Study In Scarlet
Judul Terjemahan : Penelusuran Benang Merah
Pengarang : Sir Arthur Conan Doyle
Alih Bahasa : B. Sendra Tanuwidjaja
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, November 2001
Tebal Halaman : 216 Halaman
SINOPSIS BUKU :
Sir
Arthur Ignatius Conan Doyle adalah pengarang cerita fiksi terkenal
berkebangsaan Inggris. Salah satu karangannya yang paling terkenal adalah seri
petualangan Sherlock Holmes. Pada tahun 1886, ia menciptakan tokoh Sherlock
Holmes yang diilhami dari Dr. Joseph Bell, salah satu dosennya. Cerita pertama
yang berjudul A Study In Scarlet diterbitkan pada tahun 1887. Inilah buku petualangan
pertama Sherlock Holmes.
Pada
buku ini, diceritakan bahwa inilah pertemuan pertama John Watson, seorang mantan
dokter militer yang baru pulang dari Afganistan dengan Sherlock Holmes, seorang
detektif konsultan. Stamford mengajak Sherlock Holmes dan John Watson untuk
berkenalan, karena John Watson sedang mencari apartemen yang murah di Inggris
dan Sherlock Holmes bersedia berbagi sewa kamar di sebuah apartemen di Baker
Street yang dimiliki oleh Nyonya Hudson. John Watson, yang cara hidupnya kaku,
intelek dan tipikal khas orang Inggris yang “normal” seolah tercipta untuk
melengkapi sosok Sherlock Holmes yang luar biasa ganjil, “nyentrik” namun
mempunyai kemampuan deduksi yang luar biasa. Seperti apa yang dikatakan Watson,
“Kau orang pertama yang membuat ilmu deduksi begitu
gamblang seperti ilmu eksakta” (halaman 60)
Bagi Watson, mengenal
Holmes yang misterius membuatnya merasa hidupnya banyak mengalami kejadian yang
menarik untuk diikuti. Banyak ilmu yang dimiliki Holmes, namun ada beberapa
yang tidak ia kuasai pula. Seperti sastra, filsafat, perpolitikan bahkan
mengenai teori Copernicus.
“Bahwa ada manusia beradab di abad ke 19 ini yang
tidak menyadari bahwa bumi ini mengitari matahari, bagiku merupakan fakta yang
begitu luar biasa hingga aku hampir-hampir tidak mempercayainya.”
(Halaman 24)
Petualangan pertama
bermula ketika Sherlock Holmes mendapat surat tentang adanya kasus pembunuhan
di rumah kosong di Brixton Road dari Inspektur Gregson dari Scotland Yard.
Sherlock dan Watson lalu pergi ke Brixton Road untuk penyelidikan langsung di
TKP. Korban bernama Enoch J. Drebber dari Cheveland. Dia datang bersama Mr.
Joseph Stangerson namun ia tak ada di
TKP. Namun tak ada tanda kekerasan pada korban. Di dinding dituliskan RACHE
dalam darah. Inspektur Gregson dan Inspektur Lestrade yakin bahwa kata RACHE
tersebut dituliskan korban. Korban sebenarnya ingin menulis RACHEL. Tapi, ia
tak sanggup menulisnya karena ajalnya sudah menjemputnya. Tapi setelah Holmes
melakukan penyelidikan, ia memulai deduksinya secara gamblang gambaran si
pelaku. Ia juga mengatakan bahwa tidak perlu mencari Rachel, karena RACHE
sendiri dalam bahasa Jerman adalah BALAS
DENDAM. Holmes dan Watson lalu meninggalkan TKP. Mereka menuju rumah John
Rance, polisi yang bertugas pada saat kejadian. Polisi itu mengatakan bahwa ada
seseorang yang mabuk ditempat kejadian. Holmes sendiri meyakini bahwa orang
mabuk itulah pelakunya.
Keesokan harinya,
Holmes telah memasang iklan di surat kabar, bahwa ia telah menemukan sebuah
cincin yang ditemukannya di TKP. Seseorang datang menemuinya di Baker Street
dan meminta cincin itu kembali. Ketika orang itu telah mendapatkannya, Holmes
mengikuti orang tersebut sampai orang tersebut menghilang.
Esoknya, kasus
bertambah rumit karena Stangerson, orang yang dicurigai Lestrade sebagai pelaku
telah terbunuh. Terdapat pula tulisan RACHE dalam darah. Holmes telah
menduganya. Disana, telah ditemukan pil yang satu berisi racun dan satunya lagi
tidak.
Dia telah melakukan
pencarian ke seluruh kota dengan bantuan anak-anak jalanan di London. Mereka datang
ke 221B Baker Street dan memanggil sebuah kereta bersama kusirnya. Tentu saja
Gregson dan Lestrade heran dan mengira bahwa Holmes akan kabur ketika ia
dicegat akan deduksinya. Tetapi, ia sendiri yang mengundang kusir itu dan
menyatakan bahwa ia pelakunya. Luar biasa, bagaimana alih-alih mengejar si
pelaku, namun Holmes membuat pelaku mendatanginya sendiri.
Ketika pembunuhnya
tertangkap, maka dimulailah bagian cerita kedua tentang masa lalu sang pembunuh
dan bagaimana ia bisa melakukan pembunuhan tersebut. Pembaca dibawa mundur ke
puluhan tahun sebelumnya, ke sebuah peristiwa bersejarah yang melibatkan ajaran
Mormon, penyelamatan di padang gurun, kisah cinta terlarang, hingga kematian
tragis. Tepatnya, kematian yang menjadi latar belakang pembunuhan yang
diselidiki Sherlock Holmes 20 tahun kemudian. Setelah kasus selesai, Dr. Watson
yang punya sejarah dibidang militer merasa tertarik dengan kasus yang ditangani
Holmes dan memutuskan untuk mendokumentasikan semuanya di catatan miliknya.
Tanpa disadari, Sherlock Holmes dan Dr. Watson telah menjadi sahabat karib
selama proses penyelidikan kasus tersebut.
Buku Study in Scarlet
memiliki 2 sudut pandang, satu diceritakan oleh Watson dan satunya lagi
diceritakan oleh orang ketiga. Kedua cerita ini akhirnya bertemu diakhir,
menyajikan sebuah kasus pelik namun canggih yang akhirnya bisa diungkap oleh
Sherlock Holmes.
Pengenalan
karakter 2 tokoh ini dibingkai dengan cara yang asyik sebari mengenalkan cara
deduksi yang sering digunakan Holmes untuk memecahkan kasus-kasusnya. Misalnya,
Holmes bisa memprediksi tinggi orang dengan melihat ketinggian tulisan yang
ditulis di dinding TKP.
“Kalau orang menulis di dinding, maka secara
naluriah dia menulis setinggi matanya sendiri. Nah, tulisan di dinding itu
berada sekitar enam kaki dari dari lantai.”
(Halaman 58)
“Jarang – jarang ada orang sampai berdarah hidungnya
karena emosi, kecuali ia berdarah tinggi, jadi kuduga pelakunya barangkali
orang bertubuh tegap dan berwajah merah. Terbukti bahwa dugaan ku benar.”
(Halaman 206)
Membaca
serial Sherlock Holmes ibarat candu bagi pembacanya. Tak heran jika detektif
nyentrik rekaan Arthur Conan Doyle ini segera merebut perhatian dunia. Fakta
bahwa tahun 1887 buku ini diterbitkan semakin membuat nama Arhtur Conan Doyle
semakin terkenal karena dapat membuat kasus dengan rapi dan menulis kisah
detektif yang memukau serta sudut pandangnya yang berbeda dari orang kebanyakan
merupakan contoh dari otak “out the box”. Kemampuannya berdeduksi serta
kelihaiannya dalam melihat apa yang luput dari penglihatan orang lain telah
mengajarkan kepada pembaca tentang bagaimana menjadi detektif yang tidak mudah
tertipu dengan bukti-bukti palsu.
Dari
Holmes pula kita belajar banyak tentang bagaimana berpikir secara kreatif,
bagaimana kita berfokus pada satu hal yang benar-benar kita butuhkan alih-alih
mencoba menguasai hal-hal yang kurang kita butuhkan, dan bagaimana
menjadi diri sendiri dengan segala keunikan yang kita punya.
Cerita
pada novel Sherlock Holmes memang sedikit sulit dipahami, jika kita tidak
bersungguh-sungguh membacanya. Terkadang ada beberapa adegan dalam novel yang
harus kita pikirkan dua kali agar bisa dimengerti. Tetapi, itulah gaya khas
tulisan Arthur Conan Doyle. Bahasa
terjemahannya cukup sederhana dan mudah dipahami.
Novel
ini sangat cocok untuk pembaca yang suka sekali dengan teka-teki, karena banyak
sekali kejadian yang harus memutar otak dan tidak terduga akhirnya. Bagi pembaca yang menyukai cerita detektif
atau misteri, novel ini sangat direkomendasikan untuk dibaca.
diresensikan oleh : E.K
Komentar
Posting Komentar